Mendidik dengan keteladanan

Akhir – akhir ini banyak sekali kasus-kasus yang melibatkan para siswa maupun mahasiswa. Mulai dari kasus narkoba, kasus amoral, kekerasan yang disertai dengan anarkis, maupun masalah-masalah yang berakar dari canggihnya kemajuan teknologi. Semua itu mesti menjadi atensi kita bersama. Jika dibiarkan berlarut-larut, maka akan menjadi bom waktu bagi pendidikan dan perkembangan anak didik di Negeri ini. Konsekuensi yang lebih jauh lagi akan merusak moral bangsa.

Semua itu dikarenakan kurangnya pendidikan dan pembelajaran yang menekankan pada konsep keteladanan yang baik. Pendidikan yang lepas dari control kemanusiaan. Pendidikan yang hanya menitikberatkan pada aspek kognitif. Sehingga terjadi ketimpangan moral dalam diri anak didik.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Syafe’i Antonio bahwa sekarang telah terjadi krisis terbesar di dunia, yakni krisis keteladanan. Keteladanan dari sifat dan perbuatannya sehari-hari yang menjadi modal awal dalam pendidikan. Yang menjadi pertanyaannya adalah sejauh mana keteladanan diterapkan dalam dunia pendidikan, khususnya oleh guru yang notabene berhadapan langsung dengan sasaran pendidikan, yakni siswa?

Guru sebagai suatu profesi mempunyai 3 tugas pokok profesional meliputi tugas mendidik, tugas mengajar, dan tugas melatih/membimbing. Tugas mendidik merupakan tugas guru dalam meneruskan dan mengembangkan norma hidup dan kehidupan. Tugas mengajar dalam hal mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada siswa-siswa. Sedangkan melatih / membimbing merupakan tugas guru dalam mengembangkan keterampilan siswa.

Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru merupakan salah satu tenaga kependidikan yang mempunyai predikat pendidik. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen,  dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Dari sumber di atas, tugas guru sebagai pendidik lebih diutamakan. Artinya, untuk mentransfer ilmu pengetahun dan teknologi, guru dituntut terlebih dahulu mendidik siswanya selaku anak didik. Hal ini merupakan wujud dari kedudukan guru sebagai tenaga profesional. Tugas guru sebagai pendidik yang strategis adalah mewariskan ilmu pengetahuan, mewariskan nilai-nilai luhur, dan mewariskan keterampilan juga keahlian dengan harapan dapat meningkatkan kualitas berpikir, kualitas moral, kerja, pengabdian, dan kualiatas hidup anak didik. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, tugas ini berkaitan dengan pendidikan dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor.

Dalam Ranah afektif, guru berperan sebagai pendidik. Guru benar-benar diharapkan mampu menjadi guru, yang digugu dan ditiru oleh anak didik dalam rangka mewujudkan pendidikan yang menciptakan manusia yang beriman, bertaqwa, demokratis, cakap, kreatif, dan bertanggung jawab.

Ranah afektif mencakup penanaman mental yang positif. Guru menanamkan sikap imitasi terhadap pembiasaan yang dilakukan oleh guru itu sendiri maupun aparat  masyarakat sehingga anak didik terbiasa dengan hal-hal yang baik. Budaya dan mental anak didik yang penentang perlu diubah dengan proses sosialisasi yang maksimal. Menanamkan sikap sense of belonging terhadap norma-norma yang telah ada.

Sebagai seorang pendidik, guru menjadi sosok figur dalam pandangan anak, guru akan menjadi patokan bagi sikap anak didik. Oleh karena itu, konsep keteladanan dalam pendidikan sangat penting dan bisa berpengaruh terhadap proses pendidikan, khususnya dalam membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak.

Setiap pelajaran dan prinsip kehidupan yang diajarkan menuntut adanya keteladanan dari orang yang mengajarkannya (baca: guru). Ajaran akan lebih bermakna jika disampaikan dengan keteladanan. Keteladanan adalah roh yang membuat setiap yang disampaikan menjadi hidup, bermakna, dan memiliki manfaat. Jika masih ada keteladanan, maka masih ada harapan pendidikan yang membuahkan hasil yang baik.

Ada suatu penelitian tentang kebenaran bahwa keteladanan lebih efektif digunakan dalam pembelajaran. Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA menyimpulkan 83% anak akan terpengaruh terhadap apa yang dilihatnya, 11% terpengaruh terhadap apa yang didengar, dan 6% dipengaruhi oleh stimulus (ransangan). Dari data di atas dapat dipahami karena apa yang dilihat senantiasa akan tertanam dalam kepribadian anak.

Menurut penulis, cara yang paling efektif untuk “mensukseskan” tujuan pembelajaran adalah dengan keteladanan,  yaitu pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan cara memberikan contoh dengan sikap dan perilaku sehari-hari. Guru bisa bertindak sebagai teladan di tengah arus kehidupan yang serba kompleks, penuh dengan dinamika perubahan, tantangan, dan pilihan-pilihan yang terkadang dilematis.

Konsep keteladanan seorang pendidik sangatlah penting untuk menentukan hasil yang maksimal. Jika seorang pendidik memberikan contoh positif dan menjauhkan dari perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka dalam diri anak akan terbentuk pribadi yang jujur, berakhlak dan senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan jahat. Dengan kata lain, segala tindak tanduk guru tersebut akan menjadi contoh bagi sikap dan perilaku anak didik. Memang jika guru kencing berdiri, maka tidak mustahil murid akan kencing berlari.

Satu hal yang harus menjadi tonggak awal adalah perlunya kesadaran guru untuk mendidik diri sendiri untuk bisa menjadi contoh atau teladan yang baik. Mendidik diri sendiri merupakan metode edukasi yang dapat mengarahkan individu untuk mengembangkan kepribadiannya secara paripurna. Tujuannya adalah untuk mengangkat kualitas diri pada derajat kemanusiaan.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya guru-guru di Indonesia berbenah. Sudah waktunya guru mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu pendidikan menuntut berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia sebagai mana yang diamantkan dalam UU Sisdiknas. Keberhasilan pendidikan yang tidak hanya dinilai dari besar atau kecilnya angka saja (kognitif dan psikomotor), tetapi tidak menyampingkan nilai dari kepribadian anak didik (afektif). Semua akan terwujud dengan adanya pelaksanaan pendidikan dan kegiatan pembelajaran yang menekankan pada konsep keteladanan yang baik.

Tinggalkan komentar